Sabtu, 19 Desember 2009

MENJUAL PENGALAMAN

MENJUAL PENGALAMAN

Oleh : Taufik

Sumber : Republika 21 Mei 1997



Seringnya sejumlah orang makan di restoran terkenal seperti Fashin Cafe atau Planet Holly­wood, sebetulnya bukan karena ma kanannya. Jenis makanan yang disaji­kan di situ juga bisa ditemui di tempat lain dan tidak mesti lebih enak. Hanya saja nama hidangan, seperti yang ter­tera dalam daftar menu, dan cara penyajiannya serta khususnya atmosfir di restoran itu, membuat acara makan jadi lain daripada yang lain.

Itu sebenarnya masih terhitung lumayan. Karena theme restaurant semacam itu berhasil menciptakan atmosfir sesuai dengan tema yang dikembangkan. Seperti restoran untuk penggemar (bintang) film atau pun penggemar modelling. Pendeknya memanfaatkan emosi orang terhadap para selibritis pujaannya.

Tapi untuk menciptakan suatu atmosfir tersendiri, bisa juga tanpa mengandalkan ingatan terhadap selib­ritis. Starbuck's Coffee, yang jual kopi dan sejumlah kue ringan, ternyata berhasil membuat sejumlah orang merasa bahwa minum kopi di situ memang lain. Dan hebatnya, ternyata jumlah jaringannya terus bertambah di mana-mana.

Karena itu, kalau Singapura yang sebetulnya tidak punya apa-apa itu bisa dikunjungi turis beberapa kali lipat dibandingkan dengan jumlah yang berkunjung di Indonesia, yang punya lebih banyak objek wisata, maka tentu orang merasa bahwa ada sesuatu yang lain di negeri ini. Orang misalnya bisa dengan enakjalan-jalan di tengah hari di Orchard Road yang sebenarnya lebih panas dibandingkan Jakarta.

Mengapa? Trotoarnya selain lebar dan bersih juga banyak diselingi de­ngan pohon yang besar. Sehingga cukup teduh buat jalan-jalan. Kalau pun capek, dalam jarak yang relatif dekat, banyak tersedia bangku-bangku untuk duduk.

Tapi yang membuat banyak warga asing merasa nyaman berada di Singapura adalah suasananya. Orang tidak akan khawatir dijambret ataupun dicopet, bahkan ketika jalan-jalan di malam hari.

Selain itu kalau menggunakan trans­portasi umum, seperti taksi, orang asing yang menjadi penumpang juga tidak perlu khawatir akan "diajakjalan-­jalan". Karena mereka malah akan berusaha untuk mencari shortest route, agar bisa cepat sampai dan mendapatkan penumpang baru.

Bus kota ataupun kereta api bawah tanah juga nyaman. Padahal ongkos­nya cukup murah. Stasiunnya juga bersih dan nyaman. Pendeknya serba teratur.

Tapi negeri yang berhasil menda­tangkan turis jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduknya itu, rupanya belum puas dengan prestasi yang telah mereka raih selama ini. Mereka paham, bahwa keberhasilan yang telah diraihnya itu telah mendo­rong sejumlah pejabat pemerintahan di seputar Singapura untuk melakukan hal yang sama di tempat mereka. Bahkan ada yang sudah berusaha untuk melampauinya. Malaysia misal­nya merasa perlu meluncurkan proyek Multi Super Coridor.

Tentu saja Singapura tidak tinggal diam. Hebatnya, yang dilakukan Singapore Tourism Promotion Board (STPB) untuk mempertahankan keung­gulannya selama ini adalah dengan memanfaatkan konsep marketing. Bukan sekadar gencar dalam menjalankan komunikasi pemasaran, tapi berusaha agar negeri "yang tidak punya apa-apa" itu tetap mampu memberikan superior value kepada warga asing yang berkunjung di sana. Dan yang dilakukan bukan sekadar untuk selalu lebih baik dibandingkan kompetitor, tapi berusaha untuk mem­buat pesaing itu tidak relevan.

STPB yang melihat bahwa abad 21 yang akan datang dalam tiga tahun lagi itu, adalah abad Asia Pasifik, merasa perlu membuat positioning seba­gai The New Asia. Apa maksudnya? Negeri yang standar hidupnya sebetul­nya sudah tidak ada bedanya dengan negeri-negeri maju di Barat itu ternyata tidak kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Asia. Pendeknya, mereka berhasil membuat modernitas bisa berdampingan dengan akar tradisi.

Yang mungkin mendukung position­ing sebagai the new Asia adalah kare­na Singapura, bersama dengan Malaysia, adalah negeri di Asia yang penduduknya adalah kombinasi berba­gai ras utama di Asia. Warga dari ras yang berbeda itu bukan hanya bisa bersama-sama hidup harmonis untuk menjadi bangsa modern, tapi pada saat yang bersamaan tetap mampu mempertahankan akar budaya masing­masing yang unik.

Dengan content differentiation se­macam itu, Singapura jadi tampak lain dibandingkan dengan negeri Asia lain­nya yang juga termasuk negeri maju, seperti Jepang, Hongkong ataupun Taiwan. Soalnya, keberadaan wakil-wa­kil ras utama di Asia, membuat warga dari negeri Asia lainnya bisa feel at home. Suatu hal yang tampaknya sulit ditemukan di negeri yang homogen seperti Jepang ataupun Taiwan.

Karena itu, ketika mereka meng­klaim sebagai the New Asia, rasa­-rasanya tidak ada suatu yang salah. Sebab selain berhasil menjadi negeri yang modem dan. efisien, juga berhasil mempertahankan akar tradisi bangsa-­bangsa Asia.

Tentu saja, Singapura tidak hanya ingin sekadar mengandalkan content differentiation itu. Melalui courtesy campaign, termasuk melalui festival, yang diselenggarakan sejak tahun 1979 hingga kini, pemerintah Singapura berusaha mendorong war­ganya terus-menerus meningkatkan courtesy. Ini dilakukan agar negeri tetap mampu mempertahankan con­text differentiation sebagai sebuah negeri yang hangat dan bersahabat. Alias So hard to forget, So easy to enjoy.

Dengan kata lain, menjual pengalaman itu tidak harus melalui event-event besar dan megah atau harus memanfaatkan selebritis, tapi melakukan hal-hal kecil yang bisa memberikan kesan mendalam. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar