MENJADI ENTREPRENEUR
Oleh : Firdanianty dan Tutut Handayani
Sumber Majalah SWA09/XXI/28 APRIL -11 MEI 2005
Bunyi klakson penjaja es krim yang berkeliling di jalan-jalan kampung dengan menggunakan kendaraan roda tiga, tentu bukan hal asing lagi. Bahkan buat penggemar es krim — sebagian besar adalah anak-anak, tanpa perlu melihatnya lagi, seketika mereka langsung tahu es krim merek apa yang sedang melintas di depan rumahnya: Walls.
Bila diamati, menjual es krim dengan menggunakan gerobak yang dikayuh seperti becak kini makin banyak terlihat. Beberapa tahun lalu, es krim yang mempunyai nama populer hanya bisa dibeli di toko swalayan atau tempat-tempat tertentu. Sekarang, konsumen tak perlu mencarinyajauh-jauh. Mereka cukup menunggu di rumah, sebab pada jam-jam tertentu si penjual es krim pasti akan lewat.
Sebagian orang mungkin beranggapan tak ada yang istimewa dengan cara berjualan seperti itu. Namun sesungguhnya, melalui gerobak kelilingnya itu si penjual es bisa menangkap konsumen lebih banyak lagi. Ide cerdas ini ternyata muncul dari seorang karyawan PT Unilever
Maka, untuk menampung ide-ide kreatif seperti itu, manajemen — di bawah koordinator Departemen SDM (HRD) — meW coba memfasilitasi melalui program EA. Program ini muncul bukannya tanpa perhitungan. Josef menjelaskan, krisis yang melanda
Melalui sistem tersebut, Josef melanjutkan, Unilever ingin menggali berbagai ide atau inovasi yang berasal dari karyawannya agar dapat memacu pertumbuhan perusahaan. Sejak saat itu, Board of Directors memikirkan cara untuk menghadirkan skema yang mampu mencapai tujuan tersebut. Dari sinilah lahir program EA.
Lalu, seperti apa konsepnya? Menanggapi pertanyaan ini, Josef menjelaskan, pada dasarnya EA ingin menanamkan semangat perusahaan kecil (soul of small company) ke dalam tubuh Unilever. "Small company umumnya memiliki komitmen dan sense of belonging yang tinggi," komentarnya. Di samping itu, ia memperhatikan, komunikasi yang terjalin sesama karyawan di perusahaan kecil juga lancar. "Karyawan memiliki spirit untuk membangun perusahaan di mana mereka bekerja," ujarnya seraya menambahkan, "Spirit ini bisa tumbuh karena karyawan berpikir seakan-akan bekerja di perusahaan pribadi." Dengan demikian, tak mengherankan bila karyawan memiliki tanggung jawab yang tinggi pada perusahaan.
Josef menggaris bawahi, semangat yang ingin dibangun dalam program EA adalah rasa kebersamaan di kala senang dan susah. Mengapa harus begitu? Unilever merasa perlu menanamkan semangat demikian lantaran tak mau SDM-nya menjadi pongah.
Seperti sudah menjadi rahasia umum, semakin besar perusahaan, SDM-nya cenderung bersikap tak mau disalahkan bila menghadapi kegagalan. "Mereka cenderung mencari kambing hitam. Sebaliknya, bila ada kesuksesan mereka akan berlomba-lomba menjadi orang yang paling berperan dalam keberhasilan tersebut," ujar Josef berteori.
Jiwa lain dari perusahaan kecil yang ingin dibangun di Unilever, yakni memacu seluruh karyawan selalu berpikir kreatif dan berani mencoba peluang yang ada di depan mata. Soul of small company, Josef melanjutkan, juga erat kaitannya dengan budaya yang tumbuh di internal perusahaan. "EA akan menjadi kendaraan yang digunakan untuk membangun budaya enterprise di Unilever," ungkapnya. Di luar itu, EA bisa dilihat sebagai bentuk apresiasi kepada sekelompok orang di lingkungannya yang sudah bersikap selayaknya entrepreneur dengan memberi kontribusi nyata bagi kelangsungan perusahaan.
Untuk merangsang kompetisi, EA diberlakukan bagi seluruh karyawan, posisi manajer senior ke bawah. Proyeknya bersifat lintas divisi. Artinya, satu proyek bisa melibatkan anggota tim yang berasal dari divisi yang berbeda. Satu kelompok terdiri dari 5 orang. Mau tak mau, mereka harus dapat bekerja sama satu dengan lainnya bila tak mau proyek tersebut gagal.
Di situlah dibutuhkan jiwa entrepreneur. Sebab, EA bukan hanya sekadar konsep di atas kertas. "Siapa saja bisa datang dengan berbagai ide cemerlang," kata Josef. Sistem ini mengharuskan karyawan yang mempunyai ide bagus mengimplementasikannya hingga berhasil. Masing-masing tim diberi waktu 6 bulan untuk melakukan uji coba proyeknya. Tujuannya, tak lain, melihat sustainability dan adaptability-nya. Uji coba juga perlu dilakukan untuk mengukur apakah proyek tersebut berdampak positif terhadap penghematan atau peningkatan pendapatan perusahaan. Dana untuk mengimplementasikan proyek inovasi ini, menurut Josef, sepenuhnya berasal dari perusahaan.
Lantas, apa beda EA dengan pekerjaan yang dilakukan oleh divisi riser dan pengembangan (R & D)?
Josef mengungkapkan, Unilever memang memiliki divisi R & D yang bertanggung jawab atas lahirnya inovasi-inovasi baru. Namun, EA bersifat lintas sektoral. Dengan begitu, ia tak merasa khawatir kehadiran EA bakal menyaingi pekerjaan orang-orang di divisi R & D. Skema ini justru akan lebih memacu karyawan — tak terkecuali di bagian R & D — untuk mengeluarkan idei-denya.
Setelah hasilnya kelihatan, barulah mereka bisa mengajukan diri untuk mengikuti seleksi EA. Di sini, "Mereka wajib mempresentasikan hasil uji coba inovasinya disertai bukti-bukti berupa data yang nyata di depan para juri,
Kriteria layak-tidaknya proyek ini di mata juri, dapat di lihat dari 6 hal. Pertama, proyek ini berdampak secara signifikan terhadap keuangan perusahaan atau tidak. Kedua, inovasi atau ide yang dilahirkan itu termasuk dalam kategori biasa-biasa saja atau benar-benar berbeda dari yang lain. Jadi, keorisinilan idenya yang bakal dinilai oleh juri. Ketiga, keberlangsungannya. Jangan sampai, inovasi ini hanya bersifat jangka pendek. "Kami berharap, inovasi ini dapat diterapkan sampai kapan pun," tutur Josef.
Keempat, adaptabilitasnya. Artinya, inovasi ini dapat diterapkan di wilayah lain atau hanya mencakup wilayah tertentu. "Contohnya, ada tim sales Unilever di
Kelima, Josef melanjutkan, para anggota tim yang bekerja dalam proyek tersebut akan dilihat apakah mereka memiliki soul of small company atau tidak. Dalam hal ini, yang terpenting adalah kerja sama tim dan rasa memilikinya. Pasalnya, ini berkaitan dengan alasan mereka menciptakan dan menerapkan inovasi tersebut. Dan keenam, para juri juga akan menilai, inovasi mereka memiliki degree of learning atau tidak. Itu berarti, proyek tersebut harus bisa dipelajari dan di-share kepada orang lain di luar tim dan perusahaan. "Keenam elemen itulah yang membuat sebuah proyek layak mendapatkan EA atau tidak," Josef menegaskan.
Salah satu program EA yang sudah diimplementasikan adalah learning departemen di Unilever. Learning departemen mencoba menciptakan learning and sharing environment di Unilever. Keberadaan departemen ini memberi kesempatan kepada karyawan membagi pengalaman dan pengetahuan mereka. Juga, memungkinkan karyawan lain memperoleh pelatihan tanpa harus mengeluarkan biaya. Hasilnya, program ini memungkinkan perusahaan menghemat biaya pelatihan yang biasanya cukup besar. "Juri menilai, departemen ini telah memberi kontribusi pada penghematan uang perusahaan," katanya. Sayang, Josef enggan menyebutkan besar uang yang berhasil dihemat melalui program pembelajaran dari dalam ini.
Yang pasti, sehari sesudah juri memutuskan tim yang berhak mendapatkan EA, otomatis seluruh layar komputer di Unilever menampilkan gambar tim yang menjadi pemenang beserta proyek inovasinya. Dengan kata lain, keberhasilan mereka dijadikan screensaver yang bisa dilihatkapan saja melalui layar komputer masing-masing. Selain sebagai bentuk penghargaan, cara ini bertujuan memacu karyawan lain agar tertarik mengikuti jejak tim yang telah berhasil.
Sejak diluncurkan pertama kali tahun 2000 hingga Desember 2004 ada 115 aplikasi proyek yang telah mengikuti EA. Dari jumlah itu, 66 proyek dinyatakan qualified untuk mendapatkan EA. Dan bagi karyawan yang berhasil memperoleh EA, otomatis kartu identitasnya berubah warna.
sebagai gambaran, kartu identitas karyawan yang berhasil meraih EA berubah warna menjadi perak. Mereka juga berhak atas bonus satu bulan gaji. Bila orang yang bersangkutan selama tiga kali berturut-turut berhasil memperoleh EA, kartu identitasnya berubah warna menjadi emas. Para pemegang kartu gold ini Selain mendapatkan bonus satu bulan gaji, juga mendapat tikes jalan-jalan ke Epcot Orlando, Amerika Serikat, atau Disneyland Prancis selama seminggu. "Semua biaya ditanggung Unilever Indonesia," ujar Josef sambil tersenyum. Hingga saat ini, terdapat 175 orang Yang sekali memperoleh EA, 44 orang yang dua kali meraih EA, dan 16 orang pemegang kartu gold.
Josef berpendapat, program EA sangat bermanfaat bagi karyawan Unilever. Setidak-tidaknya, "
Pendapat Josef dibenarkan Teguh Handoko, Manajer Suplai Komoditas Unilever
Program EA juga dinilai Teguh sebagai upaya agar karyawan tidak terjebak pada rutinitas. "Proyek ini memungkinkan saya bertemu dengan hal-hal yang baru. Sudah tentu, hal ini akan mengasah pola pikir saya untuk berinovasi," ungkapnya. "Dengan membentuk tim yang beranggotakan rekan-rekan dari divisi lain, berarti saya belajar sesuatu yang baru dari rekan di divisi lain. Begitu pula sebaliknya," ia menambahkan. Nah, di sinilah karyawan ditantang untuk me-maintan timnya agar tetap solid.
Pemegang kartu gold lainnya, Sally Andayani, memandang program EA adalah wadah yang memberinya peluang dan tantangan untuk terus berkarya dan berinovasi di lingkungan pekerjaan. "Saya melihat sistem dan iklim kerja di Unilever
Tak hanya itu, Sally menilai, sistem di Unilever membuatnya dapat bekerja sama dalam tim. "Saya melihat salah satu pesan Yang ingin disampaikan manajemen dalam program ini adalah membangun tim kerja Yang solid dan kompak," tuturnya pasti. Menurutnya, tanpa tim kerja yang solid mustahil mereka dapat saling memotivasi. "Ide secemerlang apa pun tidak akan terwujud tanpa tim yang kokoh," ia menegaskan. Karena itu, Sally menyadari, untuk merealisasi ide, dibutuhkan bantuan orang lain. "Bantuan itu bisa saja berasal dari divisi yang sama dengan kami, namun bukan tak mungkin dari divisi lain," ia menjelaskan.
Manfaat yang dirasakan Sally juga tidak sedikit. "Saya belajar menghadapi perbedaan," ungkapnya. Bukan apa-apa. Setiap anggota tim datang dengan kelebihan masing-masing. "Sebaiknya kami jangan memperuncing perbedaan, tetapi lebih baik mencari persamaan dan berkompromi dengan perbedaan agar tujuan tim tercapai," katanya. Karena itu, sangat penting memilih rekan yang dapat diajak bekerja sama dalam proyek.
Untuk menyosialisasi program ini di kalangan karyawan, manajemen melakukannya dengan cara kampanye. Salah satunya dilakukan melalui buletin khusus Enterprize. "EA adalah salah satu portofolio tugas divisi Organization Development Manager (ODM) yang berada di bawah Departemen HRD," jelas Abraham Togotorop, Manajer Senior ODM Unilever
Josef berharap, keberadaan EA akan memengaruhi perilaku karyawan dalam menghadapi pekerjaan sehari-hari. "Program ini diharapkan akan membentuk perilaku out of the box or go the beyond," katanya. Lebih dari itu, skema ini merupakan sarana untuk mewujudkan misi Unilever yang sesungguhnya, yakni membangun budaya perusahaan. Dalam budaya ini, karyawan memiliki soul of small company dan selalu bersikap think big-start small-move fast. "Think big berhubungan dengan visi, terobosan dan pola pikir baru. Start small berarti inovasi, eksperimen, atau pilot project dapat dimulai dari skala kecil. Sedangkan move fast maksudnya bertindak cepat agar kita selalu berada di depan," Josef men-jelaskan.
Setelah berjalan selama kurang-lebih 5 tahun, Josef melihat budaya perusahaan di Unilever sudah mulai terbentuk. Dampak positifnya terhadap kinerja perusahaan pun sudah kelihatan. Sekadar gambaran, pada 2004 Unilever Global melakukan scanning terhadap Unilever di seluruh dunia. Hasil scanning tersebut ternyata mencengangkan. Hanya ada empat Unilever yang dinilai sudah memiliki budaya perusahaan. Salah satunya, Unilever
Mengomentari program EA, pengamat SDM Arvan Pradiansyah berpendapat, banyak organisasi yang sebenarnya ingin melakukan hal serupa tetapi masih menemui banyak hambatan. "Biasanya hambatan itu berakar di paradigma diri sendiri," ujarnya. Bila hal itu yang terjadi, bisa dikatakan organisasi belum berhasil menunjukkan kepada karyawannya, mengapa hal ini penting. Selama orang merasa bahwa program itu tidak penting atau tidak berkaitan dengan kepentingan mereka secara langsung, program tersebut hanya tinggal menjadi slogan kosong. Dalam hal ini, ia melihat Unilever sudah berhasil menyosialisasi programnya dengan baik. "Di sinilah kunci kesuksesannya," tandas Arvan.
Upaya Unilever menerapkan EA secara konsisten selama 5 tahun terakhir pun dinilai Arvan sangat bagus. Dalam pandangan Direktur Pengelola Institute for Leadership & Life Management ini, Unilever terkesan berupaya keras mendorong setiap karyawannya menciptakan inovasi dalam pengertian a new and better way. Mengingat inovasi adalah kunci dari competitive advantage, setiap organisasi yang ingin memenangi persaingan harus berusaha keras memacu daya inovasi setiap karyawannya.
Pada Unilever, apa yang sudah dicapai selama 5 tahun terbilang lumayan. Perusahaan ini sanggup melahirkan iklim yang memancing lahirnya ide-ide dari semua karyawan, bukan dari bagian R & D semata. Namun, ini hanyalah tahap awal. Tantangan terbesar buat perusahaan adalah melestarikan budaya ini pada tahun-tahun mendatang. Maklum, banyak cerita, penggalian ide-ide kreatif semacam ini kerap hanya berlangsung dalam hitungan tahun. Memelihara motivasi karyawan agar tetap berkobar adalah persoalan besar yang kerap menjadi sandungan.
Josef tak menampik hal tersebut. Memang, dari semua aset yang dimiliki perusahaan, boleh dibilang, inovasi merupakan aset intangible yang paling mahal. Karena itu pula, ia bertekad, kampanye dan sosialisasi EA akan terus dilakukan agar semakin banyak ide baru yang dilahirkan. Agar budaya yang mulai berjalan ini tak segera layu dilanda kebosanan.•
Tidak ada komentar:
Posting Komentar