Sabtu, 12 Desember 2009

ADAKAH PERAN PENGELOLA SDM DALAM MENGOMUNIKASIKAN PERUBAHAN?

ADAKAH PERAN PENGELOLA SDM

DALAM MENGOMUNIKASIKAN PERUBAHAN?

Widyastuti

penulis adalah pengurus Nasional HRI Dub dan praktisi SDM di perusahaan swasta, emait‑widvastuti@hri. or. id

PADA 1995, perusahaan penerbangan besar Continental Airlines (CA) berada dalam kondisi yang mengerikan dan hampir saja bangkrut. Bahkan Direktur Human Resource Development CA Michelle Meisner mengatakan, perusahaan ini terasa sebagai tempat kerja yang mengerikan karena orang-­orang merasa cemas dan tidak percaya pada manajemen. Namun, kondisi yang bertolak belakang terjadi hanya sekitar lima tahun kemudian: CA tercatat sebagai salah satu dari Fortune's 100 Best Places to Work (Lin Grensing-Pophal, HR Magazine, Februari 2000). Kunci dari perubahan itu, karena 'Chief Executive Officer CA Gordon Bethune dan Greg Benneman yang menjabat Chief Operating Officer -nya memiliki leadership yang tinggi dengan visi, keterlibatan dan komitmennya. Mereka sering turun ke lapangan dan berbicara dengan para karyawan, bahkan mereka juga sering menyapa mereka ketika karyawan sedang kerja di malam hari. Mereka juga mampu mengomunikasikan visi mereka secara gamblang dan nyata pada para karyawan.

Perubahan yang cepat makin hari makin banyak terjadi. Sejumlah perusahaan di Indonesia juga mengalami hal seperti itu, baik berupa merger, akuisisi, maupun pengalihan kepemilikan. Tak ketinggalan masalah yang mengganjal dan makin banyak dihadapi bisnis di Indonesia adalah downsizing atau rightsizing. Manajemen atau pengelola Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai pihak yang turut menangani employee relation mestinya dapat berperan besar dalam berbagai perubahan tersebut. Sayang, meski peran pengelola SDM akhir-akhir ini makin diakui dan diperhatikan, tapi perannya dalam ikut mengomunikasikan perubahan masih terbatas. Menurut Glen T. Mambo, Country Manager Information Services Hay Group, terbatasnya peran pengelola SDM itu karena adanya kendala yang berasal dari orang-orang SDM sendiri dan dari perusahaan. "Orang­orang SDM terkadang tidak memiliki kemampuan maksimal, sementara di sisi lain pihak menajeman kurang memberikan dukungan," tutur Glen.

Namun bukan berarti tidak ada pengelola SDM yang cukup berhasil dalam perannya sebagai agen perubahan. Menurut Glen, pengelola SDM PT Astra International Tbk sudah menunjukkan perannya ketika terjadi pengurangan karyawan. Di sini awak AI telah disadarkan, perubahan di tubuh perusahaan otomotif ini --dalam bentuk– downsizing yang berbuntut pada pengurangan karyawan­ adalah untuk tujuan yang baik dan agar lepas dari jeratan utang yang menggunung. Hanya saja, kalau perubahan tidak terkomunikasikan secara baik, belum tentu juga kesalahan bisa langsung ditimpakan pada pengelola SDM.

Seperti kasus Indosat, di mana peran pe­ngelola SDM memang tidak begitu kentara. Sementara itu, peran pengelola SDM dalam kasus merger Bank Mandiri menghadapi tantangan lain, yakni bagian SDM itu sendiri juga mengalami perubahan (dimerger juga).

Menurut Tri Ch. Trisnohandoko, kon­sultan Daya Dimensi Indonesia (DDI), peran pengelola SDM dalam mengomunikasikan perubahan sangat tergantung dari tugas kesehariannya. Apabila dia seorang operational excellent yang hanya berkutat pada masalah administratif, mustahil dapat berperan dalam employee communication. Karena itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan orang-orang SDM itu sendiri. Supaya pengelola SDM mampu berperan efektif, Tri mengajukan empat syarat utama. Pertama, harus tahu betul apa yang harus dilakukannya sebagai orang SDM. Dia juga harus sadar, sistem SDM yang baik adalah yang berguna bagi perusahaan yang bersangkutan. Dan, harus disadari pula, sistem yang bagus di suatu perusahaan, belum tentu cocok diterap­kan di perusahaan lain. Karena itu, syarat yang kedua adalah dia juga harus memahami bisnis yang digeluti perusahaan. Ketiga, dia harus memahami bagaimana menghubungkan fungsi SDM dengan bisnis perusahaan. Tak kalah penting adalah syarat keempat, yakni bagaimana pengelola SDM mampu mendorong karyawan lain untuk bekerja dan menjalankan bisnis secara lebih baik.

Apabila SDM sudah mampu, ada beberapa hal lagi yang harus dilakukan sebelum perubahan dilakukan. Pertama, harus jelas dulu manajemen mau ke mana. Sebab, tidak ada gunanya pengelola SDM menyusun berbagai rencana jika ia tidak diberi wewenang. Kedua, bagaimana pengelola SDM bisa duduk dalam pembicaraan strategic perusahaan. Tanggung jawab komunikasi sebenarnya bukan hanya tanggung jawab SDM tapi juga manajemen. Soalnya, perubahan yang dilakukan suatu perusahaan sebenarnya merupakan keputusan majemen, bukan pengelola SDM. Kemudian, ketiga, menyusun action plan dan mengevaluasi terns menerus rencana yang dibuat.

Tri juga menyebutkan AI sebagai contoh yang bagus. Ketika perusahaan ini harus melakukan pengurangan karyawan, manaje­mennya sudah melakukan custody turun dari alas ke bawah. Peran SDM di AI dalam mengomunikasikan perubahan karena didukung oleh manajemen. Disamping itu, masih ada satu hal yang perlu ditumbuhkan di kalangan karyawan, yakni adanya sense of belonging pada perusahaan. Diakui Tri, sense of belonging karyawan di Indonesia memang masih rendah. Masalah ini juga yang menyebabkan di banyak kasus di Indonesia masalah modal menjadi faktor penting, kalau tidak mau dibilang sebagai yang utama. Berbeda dengan karyawan Jepang yang berbesar hati mau dipotong gajinya jika perusahaan dalam keadaan sekarat.

Menurut Susan Koonin, SPHR, President Business Resource Consulting, masalah sense of belonging adalah basic needs yang harus dipenuhi sebelum karyawan dapat diajak untuk memperhatikan peran perusahaan. Kebutuhan dasar yang lain, perasaan aman dan nyaman. Karyawan juga harus merasa bahwa mereka adalah bagian penting dari seluruh organisasi dan bukan hanya sekadar pekerja. Dalam survei yang dilakukan di GE Capital Services di Stamford ditemukan bahwa 70% dari apa yang ingin diketahui karyawan adalah mengenai isu sehari-hari.

Hal itu juga sejalan dengan yang dilakukan FedEx. Manajemen perusahaan kargo ini berusaha memenuhi kebutuhan tersebut terlebih dahulu, sehingga karyawan menjadi slap untuk diajak bicara mengenai perusahaan dan masalah perubahan. FedEx bahkan sudah mengembangkan suatu training tool bagi para manajernya agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar karyawan tersebut. Pelatihan ini mengarahkan para manajer melalui proses pengenalan dan respon terhadap beberapa pertanyaan dasar karyawan. Pertanyaan-pertama merujuk pada `aku' si karyawan, seperti: (1) Apa pekerjaan saya? (2) Bagaimana saya mengerjakan pekerjaan saya? (3) Apakah orang lain peduli? Baru setelah pertanyaan-pertanyaan itu ter­jawab, mereka akan beranjak pada pertanyaan yang berfokus pada 'kita', yakni: (4) Bagaimana kondisi kita? (5) Bagaimana posisi tim kita dalam keseluruhan organisasi? Ketika karyawan sudah benar-benar terlibat maka baru mereka akan mengajukan pertanyaan keenam: Bagaimana saya bisa membantu?

Tantangan terbesar adalah bagaimana membawa pesan makro dari level korporat diturunkan kepada bagaimana orang mengerjakannya dalam bentuk perilaku, fungsi, dan sikap dalam kerja sehari-hari. Untuk itu, pengelola SDM memang harus bekerja sama dengan para manajer lini, bahkan harus disadarkan bahwa yang bertanggung jawab masalah komunikasi adalah semua pihak. Tanggung jawab utama SDM adalah memenuhi kebutuhan dasar karyawan, membangun sistem yang men­dukung para manajer untuk memenuhi kebutuhan itu dan memonitornya secara terns menerus melalui focus group discussion, survei maupun pelatihan. Di FedEx mereka menemukan, permasalahan komunikasi bukan hanya karena skill para manajer lini, tapi juga adanya perbedaan definisi dari komunikasi itu sendiri. Menurut para manajer, jika mereka harus melakukan komunikasi, seringkali berkonotasi penyampaian pesan atau kejadian tertentu seperti newsletter atau meeting. Sementara itu, di sisi lain, karyawan merasa bahwa komunikasi adalah proses komunikasi sehari-hari untuk melaksanakan tugas mereka. Karena itu untuk mengatasi kondisi tersebut, selain mengadakan pelatihan, mereka juga mengembangkan toolkit untuk menyatukan perbedaan antara para manajer dengan karyawannya.

Jika pengelola SDM dapat melaksanakan berbagai tanggung jawab itu, mereka akan lebih mampu mendapatkan kepercayaan manajemen untuk dilibatkan dalam peran strategic perusahaan. Karena itu, seperti yang dipesankan Tri maupun Glen, nampaknya manajer SDM di Indonesia masih perlu meningkatkan kemampuannya agar posisinya makro tinggi di mata manajemen.n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar