Jumat, 25 Desember 2009

Di Swiss pun ada pengemis

Di Swiss pun ada pengemis

Tangan-tangan dekil yang diacungkan ke jendela mobil di lampu lalu lintas Jakarta memohon sekeping recehan adalah pemandangan biasa. Tetapi, hal itu menjadi agak tidak biasa jika terjadi di lampu lalu lintas Jenewa ketika seorang pemuda kulit putih mengacungkan tangannya meminta-minta.

Salah satu konsekuensi pembukaan perbatasan oleh Swiss belakangan ini adalah membanjirnya imigran legal ataupun ilegal dari negara miskin di Eropa Timur, bahkan negara Asia termasuk Filipina.

Upah minimum Swiss yang sekitar 4.000-5.000 franc Swiss atau kira-kira setara dengan Rp 40-Rp 50 juta per bulan bagi penjaga toko atau koki di rumah makan kecil menjadi daya tarik utama imigran ke Swiss.

Tetap saja, masih ada orang-orang yang tidak memenuhi kualifikasi melakukan pekerjaan yang memerlukan keahlian paling rendah sehingga harus meminta-minta di jalan.

Selain meminta-minta profesi lain yang semakin banyak terlihat di Jenewa adalah pedagang asongan bunga mawar. Kebanyakan profesi ini dilakukan oleh imigran dari Benua Afrika. Mereka keluar masuk restoran menawarkan bunga mawar.

Selain itu, pekerjaan diserbu imigran dari Eropa Timur adalah menjadi pekerja seks komersial. PSK di Jenewa merupakan profesi resmi. Mereka tidak dikejar-kejar karena membayar pajak dan dilokalisasi di kawasan lampu merah.

Profesi kerah biru lain yang cukup dibayar mahal adalah sopir bis umum. Bis umum di Jenewa adalah bis gandeng ber-AC yang lumayan panjang hampir dua kali panjang bis PPD. Sementara jalan-jalan di Jenewa sempit dan penuh tikungan. Keahlian membawa bus panjang di jalan sempit tanpa membahayakan penumpang dan orang lain dihargai lebih tinggi karena dihitung sebagai keahlian khusus.

Jangan ditanya berapa gaji para eksekutif perbankan atau pekerjaan kerah putih lainnya. Pekerja kerah putih di Swiss memerlukan waktu bekerja kurang dari dua jam untuk dapat membeli iPod 8 giga, dibandingkan pekerja di Sri Lanka yang harus memeras keringat lebih dari 15 jam untuk mendapatkan barang serupa.

Dari pendapatan tersebut, sekitar 1.000 franc Swiss per bulan harus rela dipotong untuk membayar asuransi kesehatan untuk 2 orang dewasa dan 2 orang anak-anak. Potongan tersebut secara otomatis dilakukan dari rekening penerima gaji.

Pemerintah Swiss mewajibkan semua orang membayar asuransi kesehatan untuk melindungi mereka ketika sakit. Sebagai gambaran, biaya rumah sakit untuk menginap dua malam karena sakit perut dan melakukan pemeriksaan ultrasonografi, tanpa ada tindakan pembedahan, diperlukan biaya 25.000 franc Swiss atau sekitar Rp 250 juta. Bayangkan jika si pasien tidak memiliki asuransi kesehatan.

Untuk urusan sekolah, pemerintah menyediakan sekolah gratis. Tidak hanya uang sekolah, tetapi juga meliputi pemberian buku dan tas secara cuma-cuma. Kendaraan juga cukup terjangkau, jika pekerja kerah biru menabung seluruh gajinya selama tiga-empat bulan saja, sebuah mobil sudah dapat dilunasi, tidak perlu mencicil hingga lima tahun. Soal pajak, jika dibandingkan dengan negara Eropa lainnya seperti Jerman, pungutan pajak di Swiss lebih rendah.

Di sisi lain, biaya hidup lain seperti makan, tempat tinggal, pakaian, dan hiburan sangat mencekik leher. Selembar baju anak-anak yang terbuat dari wool dibanderol dengan harga 200 franc Swiss atau sekitar Rp 2 juta. Belum lagi sepatu kulit laki-laki yang minimal berharga 300 franc Swiss atau Rp 3 juta. Mau makan nasi goreng dengan lauk ayam, sayur dan dimsum di restoran China, Anda harus merogoh kocek setidaknya 50 chf atau Rp 500.000 sekali makan.(kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar