KRITIK & MATEMATIKA EGO
ARVAN PRADIANSYAH
Direktur Pengelola ILM & pengarang buku best seller Life is Beautiful.-
Pada suatu ketika ada rumah penginapan bernama Bintang Perak. Meskipun pemilik rumah penginapan itu sudah melakukan segalanya untuk menarik pelanggan — dengan membuat penginapan itu nyaman, pelayanannya ramah dan tarifnya tidak mahal — ia tidak berhasil. Dalam keputus-asaan, ia pergi untuk minta pertimbangan orang bijak.
Sesudah mendengar kisah yang tidak menyenangkan ini, orang bijak itu berkata, "Sangat sederhana. Engkau harus mengubah nama rumah penginapanmu."
"Tidak bisa," kata si pemilik. "Sejak awal namanya Bintang Perak. Nama itu sudah terkenal di seluruh negeri dan akan terus dipertahankan."
"Tidak," kata orang bijak itu dengan tegas. "Engkau harus menamainya Lima Genta, lalu menggantungkan 6 genta di pintu masuk."
"Enam genta? Ini bodoh. Apa gunanya?"
"Cobalah dan nanti kita lihat," kata orang bijak itu sambil tersenyum.
Pemilik penginapan itu mencobanya. Inilah yang ia lihat. Setiap orang yang lewat di situ masuk untuk menunjukkan kesalahan karena mengira tak ada orang lain yang melihatnya. Sekali berada di dalam, mereka terkesan oleh keramahan pelayanannya dan tinggal di situ untuk istirahat dan menyegarkan diri. Dengan demikian, mereka memberikan keuntungan yang sudah begitu lama dicari oleh si pemilik penginapan.
Sebuah strategi yang jitu! Betapa pandainya si orang bijak ini. Rahasianya memang terletak pada pemahamannya yang mendalam mengenai hakikat manusia. Betapa tidak, kebanyakan kita memang sangat suka mengkritik orang lain. Bahkan, seandainya kritikan tersebut tidak memberikan manfaat selain meninggikan ego si pemberi kritik.
Sekarang marilah kita melihat ke dalam diri kita dan bertanya, "Mengapa kita suka mengkritik orang lain?" Dari hasil perenungan dan diskusi yang cukup mendalam, saya menemukan tiga alasan terpenting mengapa kita suka mengkritik. Pertama, kita sering merasa lebih baik dari orang lain. Kita merasa lebih pandai, lebih berpengalaman, lebih matang, lebih suci dan lebih mulia."Perasaan-perasaan seperti ini membuat kita merasa berhak menilai orang lain."
Akar masalah ini adalah perasaan sombong. Ini persis seperti yang dilakukan Iblis yang menolak mentah-mentah ketika diminta memberikan penghormatan kepada Adam. Iblis merasa dirinya lebih baik. Inilah asal-muasal kesombongan dalam sejarah umat manusia.
Alasan kedua, dengan mengkritik orang lain, kita merasa diri kita hebat. Mengkritik memberikan kebanggaan dan kepuasan batin tersendiri. Kita seolah-olah mendapatkan energi baru. Sesungguhnya yang kita lakukan adalah menyerap energi tersebut dari orang yang kita kritik. Kita ingin terlihat pintar sementara orang lain terlihat bodoh. Akar masalah ini adalah karena kita masih menganut pola berpikir menang-kalah. Kita sangat percaya bahwa sumber daya di dunia ini begitu terbatasnya sehingga mustahil bagi kita bisa sama-sama menang. Kita hanya dapat menang kalau kita mampu merebut kemenangan tersebut dari orang lain.
Alasan ketiga, kita mengkritik orang untuk menunjukkan eksistensi diri, untuk menunjukkan pada dunia bahwa kita masih ada, masih "bergigi". Lihatlah apa yang dilakukan sejumlah mantan pejabat di negeri ini yang selalu mengadakan pertemuan untuk mengkritik pemerintah. Mereka saat ini tidak menyandang jabatan apa pun. Tidak jelas siapa yang mereka wakili dan ideologi apa yang mereka perjuangkan, yang pasti mereka adalah orang-orang yang kalah dalam pemilu lalu.
Bahkan, sebuah proses perdamaian yang disyukuri banyak orang termasuk rakyat Aceh sendiri di mata mereka adalah sesuatu yang pantas diributkan.
Kalau begitu, tidak bolehkah kita mengkritik orang lain? Jangan salah, saya tidak pernah mengatakan demikian. Bahkan, saya sangat mendukung proses bersinergi yang terbuka, yang dilakukan dengan penuh keberanian untuk mengeksplorasi segala alternatif solusi yang lebih baik.
Namun, hal itu harus dilakukan dengan sebuah catatan. Kita barnu meminimalisasi ego. Bahasa mudahnya adalah: "This is not my way, this is not your way. This is a better way." Jadi, cara saya ataupun cara Anda sudah tak penting lagi.
Bahkan, kata-kata "saya" dan "Anda" telah menghilang pada saat kita memutuskan bersinergi. Kita boleh saja beradu argumentasi, saling memberikan data dan opini, tapi kesemuanya dalam rangka mencapai the better way. Adapun siapa yang memberikan kontribusi sama sekali bukan hal penting.
Akan tetapi, mungkinkah hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah? Cobalah jawab dulu pertanyaan berikut ini: "Mana yang lebih penting bagi Anda, ide Andakah atau nama Anda?" Kalau Anda masih sulit memilih di antara kedua hat ini, atau malah menginginkan kedua-duanya, itu berarti ego Anda masih terlibat, dan selama ego Anda terlibat, selama itu pula Anda akan mengundang ego orang lain untuk juga terlibat. Maka, terj adilah pertandingan ego melawan ego.
Dari sini kita dapat menyusun Matematika Ego. Dalam proses bersinergi antara dua orang (pihak) kita dapat menyusun empat persamaan. Persamaan pertama, pertempuran antar-ego: Ego (Anda) + Ego (Orang) = Kehancuran dan Permusuhan. Persamaan kedua, Ide (Anda) + Ego (Orang) = Peningkatan Kualitas Ide. Di sini kita memilih berfokus semata-mata pada ide kita sambil membiarkan orang lain mempertahankan egonya. Pilihan kedua ini berpeluang juga membuat orang menurunkan ego mereka dan mulai memfokuskan diri pada ide (seperti yang telah Anda contohkan). Kalau ini yang terjadi, Anda bisa mendapatkan persamaan ketiga yaitu: Ide (Anda) + Ide (Orang) = Sinergi yang Maksimal. Di sini Anda dapat memadukan hal-hal terbaik yang Anda miliki bersama. Persamaan keempat, Ego (Anda) + Ide (Orang) = Penurunan Kualitas Ide. Apalagi bila Ego Anda justru mengundang bangkitnya ego orang tersebut seperti yang sering terjadi. Hasilnya tentu saja kembali seperti persamaan yang pertama. Anda akan mendapatkan kehancuran dan permusuhan.
Sumber : KOLOM PERNIK MAJALAH SWA 20/XXI/29 SEPTEMBER -12 OKTOBER 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar