Kamis, 10 Desember 2009

Keterampilan Menegur: Efektif atau Destruktif

Keterampilan Menegur: Efektif atau Destruktif

E Paulus Bambang W.S.

Penulis adalah Direktur Pengelola PT Astra Graphic Tbk. — IT Solution.

Mengikuti konflik Zus Inul, sang anggota, dan Bung Rhoma, sang pemimpin, rasanya hari jadi ikut miris. Apalagi melihat fakta di lapangan, hanya gara-gara teguran dari pemimpin terhadap seorang anggota, membuat permasalahan ini menjadi persoalan gender, politik, dan agama. Dukung-mendukung dan aksi-beraksi muncul bertubi-tubi seperti pertandingan yang harus berakhir dengan siapa Yang menang dan siapa yang kalah.

Saya tidak mau ikut-ikutan dari segi isi, tapi mencoba memotret kejadian itu dengan mema­hami "menegur" sebagai keterampilan yang harus dimiliki seorang pemimpin. Lho, kok begitu? Masak menegurpun perlu keterampilan?

Justru bagi saya, seorang pemimpin harus menguasai dengan baik dua keterampilan kepemimpinan yang paling mendasar, yakni keterampilan memotivasi dan keterampilan menegur, memberi umpan balik, memarahi bahkan menghakimi. Saya katakan paling mendasar karena setiap hari minimal satu kali keterampilan ini digunakan oleh seorang pemimpin. Keterampilan memotivasi untuk terus mengupayakan peningkatan kinerja serta kemampuan menegur untuk memberikan umpan balik yang efektif agar bawahan menemu-kenali masalah serta mampu memberikan koreksi yang tepat.

Dari pengamatan saya di lapangan, ternyata banyak sekali ketidaknyamanan suasana kerja, berkurangnya motivasi karyawan, friksi, dan bahkan konflik yang terjadi karena pemimpin tidak memiliki keterampilan menegur yang merupakan hal yang paling esensial. Saya ajak kita merefleksi tiga kasus di bawah ini.

Kasus pertama. Dalam beberapa kesem­patan rapat, sang Bos memperhatikan salah seorang anak buahnya menerima telepon dari anaknya berkali-kali dan ia tidak berusaha mematikan ponselnya atau menegur anaknya untuk tidak menelepon pada jam kerja. Setelah beberapa kali rapat dalam beberapa hari, si Bos Yang merasa terganggu oleh ulah anak buahnya, langsung menegur dengan keras di tengah pertemuan penting, "Hai Bung, matikan itu telepon. Sudah beberapa kali dalam beberapa hari ini, kau terima telepon melulu dari anak kau sewaktu kita rapat. Kasih tahulah anak kau, untuk jangan ganggu kau kalau di kantor. Masak atur anak saja kau tak mampu?" Tanpa basa basi, si anak buah langsung pergi ke luar ruang tanpa mengatakan sepatah kata pun. Si bos pun makin marah dan merasa ditantang "Hai, Bung, mau ke mana kau? Rapat belum selesai." Tetap saja si anak buah pergi ke kamarnya. Tak berapa lama, si anak buah ini kembali ke ruang rapat dengan membawa amplop, ia menyo­dorkan amplop itu dan berkata "Saya minta berhenti. Terima kasih atas perhatian Bapak selama ini." Kali ini si Bos melongo seperti petinju kalah KO.

Di tengah kejutan bak halilintar itu, si Bos mengajak si anak buah ke kamarnya. Dia sadar, teguran yang dilakukannya membuat anak buahnya semakin nekat. Setelah berdialog dengan tenang, dia terenyak sewaktu si anak buah berkata, "Saya ditelepon terus oleh anak saya, karena memang saya yang minta. Bapak tahu sebabnya? Ayah dan ibu saya kecelakaan, mereka berada di ICU dan dalam kondisi koma." Tanpa sanggup meneruskan kalimat­nya, si anak buah meneteskan air mata. Si Bos pun memeluknya dan berkata, "Maafkan saya, saya salah. Kau ambil cuti saja beberapa hari, urus itu orang tuamu. Saya yang akan bantu pekerjaanmu di sini." Happy ending. Amplop Surat pengunduran diri pun disobek bersama.

Kasus kedua. Saya teringat kisah yang disampaikan mantan Bos saya, Bung Iljas, mantan pegawai IBM Indonesia. Suatu kali, katanya, Thomas Watson Sr., pendiri IBM, pernah salah menegur seorang Vice President Pemasarannya yang terlambat menghadiri rapat selama beberapa menit. Begitu sang VP datang, langsung Mr. Watson menegur, "Kami sudah menunggu beberapa menit untuk Anda, berapa biaya yang sudah kita keluarkan karena menunggu ini?" Cukup terkejut dengan teguran sinis, ia menjawab "Saya hanya menjalankan filosofi perusahaan kita, customer comes first. Saya sedang mengunjungi seorang pelanggan Yang marah karena sistemnya terganggu. Saya dan tim baru berhasil menyelesaikan beberapa saat lalu, sampai saya lupa memberitahu Bapak." Mr. Watson tersentak, dia tersenyum dengan berkata, "Sorry, you did the right things. "

Kasus ketiga. Cerita klasik lain yang sering saya dengar sejak saya masih di sekolah minggu. Suatu saat, ada sekumpulan para pemim­pin agama datang membawa wanita yang keda­patan basah berselingkuh kepada Yesus. Maksudnya hanya untuk menjebak Yesus dengan menghadapkan kasus wanita ini sebagai test case. Tanpa mengatakan apa-apa, Yesus menulis di tanah, dan berkata kepada mereka, "Barang­siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia Yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya, tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Yesus pun menegur dengan suatu kalimat yang efektif dan transformatif: "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai sekarang."

Dari ketiga kisah di atas, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil. Pertama, teguran harus disampaikan dengan tepat cara. Pemimpin bisa kehilangan kepercayaan, kharisma, rasa hormat, dan pengakuan dari anak buah hanya karena sebuah teguran yang salah cara, bukan salah isi. "Cara" mendominasi (lebih dari 80%­90%) kesuksesan sebuah teguran, sedangkan pada unsur motivasi "cara" berkontribusi 2/3 bagian saja. Teguran yang salah cara bisa mengubah merpati menjadi singa yang garang dalam sekejap. Bahkan, bisa sampai menjadi naga bonar yang menelan si penegur karena bola salju yang mengelinding menjadi sangat besar dan bahkan tidak mampu ditahan oleh siapa pun.

Kedua, teguran harus disampaikan dengan tepat isi, artinya maksud dan tujuan teguran adalah untuk mengoreksi perbuatan dan bukan untuk memojokkan pribadi. Teguran yang efektif adalah membuat si anak buah menemu-kenali masalahnya dan jalan keluarnya tanpa merasa dihancurkan martabat pribadinya yang belum tentu berhubungan langsung dengan per­buatannya.

Ketiga, teguran yang efektif adalah tepat waktu, jangan terlalu cepat dan jangan pula menunggu terlalu lama sejak anak buah melakukan kesalahan. Keempat, tepat tempat, artinya jangan di depan umum dan dipubli­kasikan, sebaiknya empat mata. Ada pepatah: "Pujilah orang di depan public, tegurlah orang secara private."

Kelima, tepat fondasi. Teguran dengan moti­vasi ingin menghancurkan tentu berbeda dari teguran untuk mengoreksi. Bila fondasinya "character, personal, political assassination", teguran pada hakikatnya adalah pembunuhan walaupun disampaikan dengan cara, isi, waktu, dan tempat yang tepat. Sebaliknya, teguran yang dilandasi fondasi yang membangun seperti kasih, pengampunan dan pemberian harapan, akan menjadi efektif dan transformatif.•

Sumber :

Kolom PERNIK Majalah SWA 11/X1X/28 MEI - 11 JUN12003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar