Sabtu, 19 Desember 2009

Growing Pains

Growing Pains

Oleh : Anif Punto Utomo

Sumber : REPUBLIKA RABU, 21 MEI 1997


Bakrie Brothers. Seandainya konglomerat pribumi itu dulu tidak merekrut Tanri Abeng, barangkali perusahaan itu tak akan semeraksasa seperti sekarang. Bahkan tak me­nutup kemungkinan kiprah usahanya sudah menyurut.

Sampoerna. Bila perusahaan berbasis rokok itu dulu tak mampu mengerem ekspansi usa­hanya, mungkin tak akan seperkasa sekarang. Terpuruknya Sampoerna Bank (bank milik Sampoerna) membuat perusahaan itu berpikir sekian kali untuk ekspansi.

Dua contoh di atas menggambarkan betapa mengelola perusahaan yang sedang tumbuh bukan pekerjaan mudah. Malah bisa jadi lebih sulit. Apalagi jika pertumbuhan itu tidak diimbangi dengan tersedianya sumber daya manusia dan penguasaan teknologi.

Bakrie, sebelum Tanri masuk, sudah tumbuh cukup cepat, setidaknya untuk ukuran pengusaha muda pribumi. Namun pertumbuhan itu sempat membuat keteter bidang-bidang lain yang men­dukungnya. Manajemen perusahaan itu terengah­-engah mengikuti betapa cepatnya pertumbuhan perusahaan. Aburizal Bakrie (Ical) sendiri sebagai orang pertama di perusahaan itu tak sempat lagi mengurus detil masing-masing perusahaan.

Begitu juga Sampoerna. Sekalipun kasusnya agak lain dengan Bakrie, tapi muaranya sama, yaitu perusahaan tumbuh begitu pesat. Putera Sampoerna sebagai pemilik terus bernafsu melakukan ekspansi, sedangkan perangkat pen­dukungnya belum siap betul. Kemudian ketika dihadapkan pada masalah yang cukup rumit (tidak beresnya pengelolaan Bank Sampoerna) dia cukup kelabakan mengatasinya.

Kondisi seperti Bakrie dan Sampoerna, jika merujuk pada Eric G. Flamholtz dalam bukunya berjudul Growing Pains, bisa dimasukkan dalam perusahaan yang lagi growing pains. Perusahaan itu tumbuh bagus, tapi seiring dengan itu muncul berbagai masalah yang ditimbulkan oleh pertum­buhan itu sendiri.

Banyak perusahaan yang mengalami kondisi serupa itu. Apalagi kondisi bisnis seperti.di nega­ra-negara yang sedang pesat pertumbuhannya seperti Indonesia ini. Peluang bisnis bisa muncul dimana saja dan terus bermunculan. Orang yang punya jiwa entrepreneurship (kewirausahaan) kuat akan menyambar semua peluang itu.

Banyak perusahaan didirikan. Kalaupun tak banyak mendirikan perusahaan, tapi karena lingkungan bisnis memungkinkan, perusahaan yang dikelola tumbuh dengan cepat. Keduanya sama saja. Si wirausahawan itu tak mampu mengatasi pertumbuhan. Akhirnya terjadilah orga­nizational growing pains.

Bagaimana mendeteksi perusahaan yang memasuki masa growing pains. Flamholzt melihat ada beberapa gejala yang bisa dideteksi. Dari sisi karyawan bisa dilihat betapa banyak di antara mereka yang membuang banyak waktu untuk hal-hal yang tidak perlu, karyawan mulai tak peduli dengan yang dikerjakan orang lain, karyawan tidak tahu apa yang ingin dicapai perusahaan, dan karyawan merasa tidak aman pada posisi dia di perusahaan.

Kemudian dari sisi manajemen bisa dideteksi dari langkanya manajer andal yang dimiliki, angka penjualan yang meningkat tapi tidak diikuti kenaikan laba, terlalu banyak rapat yang hanya membuang waktu. Selain itu, perusahaan jarang membuat perencanaan. Kalaupun ada follow up atau penyelesaiannya, terbengkalai. Bahkan acap kali tak dilaksanakan.

Gejala-gejala tersebut bisa saja muncul hampir berbarengan. Karena problem seperti itu mulanya tak begitu tampak, tapi tiba-tiba saja sudah muncul di permukaan. Jadi kalau perlu, ketika baru ditemukan dua atau tiga gejala, perusahaan perlu segera berbenah diri. Logikanya, semakin banyak mengulur waktu makin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk membenahi.

Memang bukan pekerjaan mudah untuk mem­benahi perusahaan yang memasuki growing pains itu. Apalagi jika kondisinya sudah cukup akut. Dalam kondisi seperti itu, mau tak mau manaje­men perusahaan harus didesain ulang, sekaligus mengembalikan mental karyawannya untuk selalu maju demi kepentingan perusahaan (yang pada gilirannya juga untuk kepentingan karyawan sendiri).

Pada saat seperti itu, pemilik perusahaan tak ada pilihan lain kecuali mengambil langkah strate­gis untuk menyelamatkan perusahaannya. Apa yang dilakukan Bakrie merupakan langkah taktis mereka dalam menyelamatkan sekaligus membe­sarkan perusahaan. Ical mundur dari persoalan manajemen dan hanya mencari peluang, sedang­kan Tanri tak berpikiran tentang peluang tapi bagaimana mengelola manajemen sehingga perusahaan bisa untung.

Begitu juga Sampoerna yang mengerem nafsu ekspansinya. Langkah itu telah membikin perha­tiannya terfokus sehingga perusahaan rokoknya terus membumbung. Kalaupun Putera Sampoerna belakangan aktif masuk ke berbagai kepemilikan saham (di antaranya Astra International dan Indofood) tapi masih terbilang aman, karena dia tak menjalankan sepenuhnya perusahaan itu. Kepemilikan sahamnya masih terlampau kecil untuk ikut bermain.

Langkah lain yang bisa dilakukan adalah de­ngan mencoba menumbuhkan keterampilan baru dan sekaligus mengubah mental karyawan. Meski sulit, tapi secara perlahan hal ini bisa dilakukan. Konsekuensinya, pemilik mesti punya doping yang akan menggali semangat baru karyawannya. Barangkali dengan bonus atau pemberian fasili­tas. Atau setidaknya, pameri karyawan dengan target perusahaan beserta kompensasinya jika target itu tercapai.

Pilihan terburuk, teruslah beroperasi seperti sebelumnya (dengan secara perlahan melakukan perbaikan) dan abaikan masalah yang ada, sem­bari berharap semua persoalan yang ada menguap dengan sendirinya. Cuma pilihan ini berisiko, karena tanpa gebrakan berarti, kondisi yang sudah ada akan makin parah.

Tapi sebetulnya berbahagialah jika perusahaan Anda mengalami growing panis. Karena itu menunjukkan bahwa perusahaan Anda berkem­bang. Tinggal bagaimana mengatasinya. Entrepreneur yang baik, memang tak selalu bisa menjadi manajer yang tangguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar