Cerita kali ini adalah tentang sebuah pesawat Canadian Air dengan nomer penerbangan Flight 143 yang terpaksa mendarat darurat karena kehabisan bahan bakar di tengah2 route penerbangannya.
Begini ceritanya
Spoiler for Disini nih ceritanya:
Flight 143 dengan jenis Boeing 767, yang dipiloti oleh Kapten Pearson degan First Officer (Co-Pilot) Maurice Quintal berangkat dari bandara Dorval di Montreal dengan tujuan MacDonald-Cartier di Ottawa.
Di tengah2 perjalanan, di atas danau Red Lake,Ontario, pada ketinggian 41,000 kaki (12,500 meter), warning alarm pesawat berbunyi karena ada indikasi masalah tekanan pada tangki bahan bakar sebelah kiri. Karena mengira masalahnya terletak pada pompa bahan bakar, Kapten Pearson mematikan pompa bahan bakar dengan berharap bahwa bahan bakar tetap bisa terkirim dari tangki ke engine pesawat karena adanya gaya gravitasi.
Tetapi tidak lama kemudian warning alarm kembali berbunyi dan kapten terpaksa harus mengambil opsi untuk mendarat di bandara terdekat di kota Winnipeg. Tak lama setelah alarm kedua berbunyi, secara tiba2 engine sebelah kiri mati dan crew pesawat mulai mengambil tindakan untuk mempersiapkan pendaratan dengan hanya 1 engine.
Sambil berkomunikasi secara intensif dengan bandara di Winnipeg, First Officer terus berusaha untuk menghidupkan kembali engine kiri ketika tiba2 alarm kembali berbunyi yang kali ini dengan bunyi yang panjang sebagai warning bahwa semua engine di pesawat mati…!!!
Nggak lama, semua panel elektrik di kokpit pun ikut mati, bahkan termasuk tidak berfungsinya joystick control pilot…Hal ini ternyata karena 767 adalah termasuk salah satu pesawat yang menggunakan system EFIS atau Electronic Flight Instrument System yang mengandalkan tenaga listrik dari engine pesawat. Yang tersisa adalah beberapa instrument dasar yang dibutuhkan untuk mendaratkan pesawat secara darurat yang ditenagai oleh battery.
Kontrol pesawat pun termasuk yang tidak berfungsi karena mengandalkan system hydrolik yang ditenagai oleh motor listrik, padahal listrik di pesawat sendiri sudah mati seiring dengan mati nya kedua engine.
Masih beruntung, pesawat ini termasuk yang dilengkapi oleh Ram Air Turbine, atau turbin yang digerakkan oleh angin dan turbin ini berfungsi untuk menghidupkan kembali system hydrolik pesawat (secara terbatas) sehingga kontrol pesawat kemudian dapat berfungsi kembali.
Dengan matinya kedua engine, pesawat ini sudah berubah menjadi layaknya pesawat paralayang yang untungnya Kapten Pearson adalah seorang yang banyak memiliki pengalaman menerbangkan pesawat sejenis ini.
Bayangpun sebuah pesawat dengan berat total 132 ton harus melayang2 di udara tanpa engine sama sekali…!!!
Celakanya, perhitungan kedua pilot mengindikasikan bahwa tanpa engine, dengan melayang2 saja, pesawat tidak akan sampai di bandara Winnipeg. Untungnya di dekat situ ada bandara Gimliyang sudah tidak terpakai lagi dan akhirnya Kapten Pearson memutuskan untuk mendarat di bandara tersebut.
Celaka kedua kalinya, bandara ini ternyata sudah menjadi tempat balapan drag race dan hari itu (hari Sabtu) adalah hari dimana banyak orang yang sedang berlatih dan bertanding.
Menjelang sampai di bandara tersebut rupanya pesawat masih terlalu tinggi untuk mendarat tetapi terlalu rendah untuk memutar sambil menurunkan ketinggian. Disinilah kemudian terbukti bahwa pengalaman Kapten Pearson sebagai pilot paralayang sangat berguna, dia mengambil sikap Forward Slip dengan pesawatnya.
Forward Slip adalah maneuver dimana pesawat dapat menambah gaya hambatnya (Drag) sehingga dapat mengurangi ketinggian dengan cepat tanpa harus menambah kecepatan (mirip seperti sepeda yang mengerem di turunan tajam). Dan ini biasa digunakan oleh penerbang paralayang untuk mengurangi kecepatan atau untuk menurunkan ketinggian tanpa menambah kecepatan.
Celaka ketiga kalinya, karena tanpa tenaga yang mencukupi pada system hydrolik nya, roda pesawat harus turun dari sangkarnya dengan mengandalkan beratnya sendiri dan oleh karena itu, roda depan pesawat tidak bisa turun dengan sempurna dan dapat dipastikan oleh kedua pilot bahwa pendaratan kali ini harus dilakukan tanpa roda depan.
Akhirnya setelah pesawat menyentuh landasan, tanpa roda depan, pesawat meluncur dengan hidung yang terseret di sepanjang landasan yang mempersulit pengereman. Kapten Pearson sampai harus “berdiri” diatas pedal rem untuk memaksimalkan pengereman yang menyebabkan ban belakang pesawat meletus.
Tetapi untungnya, karena sudah menjadi arena drag race, Kapten Pearson bisa sedikit membelokkan pesawatnya dan menabrak dinding pembatas balapan di tengah landasan sehingga membantu pengereman dan akhirnya pesawat bisa berhenti dengan selamat tanpa ada korban jiwa satupun.
Pesawat ini sendiri harus kehabisan bahan bakar karena suatu hal yang "sepele", yaitu ground crew yang mengisi tangki sebelum pesawat terbang salah membaca manual. Pesawat ini seharusnya diisi oleh ground crew sebanyak 23,000 Kg avtur sedangkan dia mengisinya dengan 23,000 Pound avtur. Padahal 1 Pound sendiri hanya 0.45 Kg, jadi pesawat diisi hanya kurang dari setengah jumlah bahan bakar yang seharusnya.
Sebagai tambahan, saat itu Boeing 767 adalah pesawat pertama Boeing yang didesain dan menggunakan metric system dalam manual2nya dan Kanada sendiri juga baru saja mengkonversi penggunaan satuan dari British Imperial System ke Metric International System. Hal ini menyebabkan ground crew yang masih terbiasa menggunakan Imperial System harus bekerja dengan system satuan yang baru.
Disinilah pentingnya standarisasi system satuan dalam kegiatan sehari2.
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=974395
Tidak ada komentar:
Posting Komentar