Selasa, 18 Mei 2010

LONELY PLANET


Jagalah biaya-biaya operasional tetap rendah,

dan Anda mungkin berpeluang untuk berkembang



Maureen dan Tony Wheeler bukanlah pengelana Inggris pertama yang melakukan perjalanan dari London ke Sydney dalam sebuah van kecil, menyusuri negara-negara seperti Afganistan dan Indonesia. Walau demikian, merekalah salah seorang petualang pertama yang menyusun panduan untuk para pengelana yang sadar biaya. Buku-buku panduan Lonely Planet pertama ditulis dengan gamblang, bergaya obrolan dan sangat memburni, dan memperkenalkan sebuah generasi baru pada hedonisme berbiaya rendah di negeri-negeri yang jauh: matahari, candu, pesta-pesta, makanan dan akomodasi murah, sakit mulas dan petualangan. Ini merupakan sebuah era kemakmuran, di mana sebuah angkatan pengelana baru memiliki waktu dan uang yang tidak dimiliki orangtua mereka, dan menggunakannya untuk bepergian.

Maureen dan Tony masih terus tersenyum ketika orang terkejut bertemu mereka dan mendapati bahwa mereka bukanlah "kaum hippy yang manja dan pecandu madat". "Ya, pendekatan kami mungkin lebih kasual daripada kebanyakan orang, tapi kami telah membuat beberapa keputusan bisnis yang cerdas dan beberapa keputusan komersial yang sulit," tutur Maureen, seorang wanita penuh gaya yang jelas lebih menyukai tudung kashmir dan baju kulit daripada dasi dan kain muslin (walaupun dia memiliki sebuah tato di bahu kirinya). Tony yang tidak dikenal karena koleksi dasinya, biasanya tampil lebih kasual dan seperti anak muda.

Lebih dari 80 juta eksemplar buku panduan Lonely Planet telah terjual di seluruh dunia sejak Maureen dan Tony Wheeler menyadari bahwa ada pasar untuk jenis pengalaman petualangan mereka. Lebih dari 30 tahun kemudian, pasangan Wheeler duduk di tampuk pimpinan sebuah perusahaan yang memiliki turnover tahunan senilai 90 juta dolar Australia, lebih dari 400 staf, dan 650 judul buku di pasaran.

Pasangan Wheeler benar-benar memiliki bakat alami untuk berkelana ke seluruh dunia. Tony—seorang mantan insinyur yang lahir di Bournemouth yang juga bergelar MBA dari London School of Economics—telah mengelilingi dunia sejak masih kanak-kanak karena ayahnya bekerja di bidang penerbangan. Ketika berusia 1-0 tahun, dia meminta dua hal kepada orangtuanya sebagai hadiah Natal: sebuah bola dunia dan sebuah lemari arsip. "Dia selalu menyukai peta, suka menyimpan daftar-daftar dan catatan-catatan terperinci," papar Maureen.

Maureen seorang gadis asal Irlandia yang bermimpi menjadi seorang pramugari, tapi bertubuh tidak cukup tinggi. Dia tumbuh di era 1950-an di sebuah perumahan di Belfast, sebuah rumah siap pasang yang "dibuat dari panel-panel logam yang dipasang dengan baut". "Saya ingat orang berkata pada saya, 'Kamu akan menikah dan punya anak.' Saya ingat menjawab, 'Saya akan bepergian. Saya akan menjadi seorang penulis, seorang jurnalis."' Sampai hari ini Tony masih menyukai peta yang baik. Maureenlah yang lebih memiliki dorongan kewirausahaan, orang yang menikmati hubungan dengan orang lain.

Maureen dan Tony bertemu di; London, di sebuah bangku taman Regent's Park pada 1971. Mereka menikah setahun kemudian dan memulai perjalanan panjang melintasi benua dari London ke Sydney pada 1972. Enam bulan kemudian, mereka tiba di Exmouth, Western Australia, setelah menumpang gratis di sebuah kapal dari Bali, sementara Tony terus mencatat secara terperinci sepanjang perjalanan. Mereka lalu meneruskan perjalanan ke Sydney di mana Tony mendapatkan pekerjaan pada sebuah perusahaan farmasi dan Maureen di sebuah perusahaan pembuat minuman anggur.

Mereka terus-menerus ditanyai soal perjalanan mereka dari London—di mana mereka menginap, apa yang mereka lakukan—sehingga Maureen membawa pulang mesin ketiknya ke landai dasar flat mereka pada akhir pekan dan pasangan itu mulai menuliskan perjalanan mereka. Catatan-catatan harian pasangan Wheeler menjadi basis buku pertama mereka, Across Asia on the Cheap yang tebalnya 96 halaman. Buku seharga 1,80 dolar Australia ini ditik, disusun halamannya dan digabungkan di meja dapur keluarga Wheeler di Sydney. "Kami tidak tahu apa-apa mengenai penerbitan '[dalam makna industrial]'," kata Tony "tapi saya tahu bagaimana menyusun sebuah buku." Buku itu ditulis, dicetak dan diedarkan di jalanan dua bulan kemudian. Pasangan Wheeler secara pribadi mendistribusikannya pada toko-toko buku dan buku panduan ini—yang pertama diterbitkan pada Oktober 1973—terjual habis dalam seminggu, dan langsung dicetak ulang.

Maureen dan Tony meneruskan kerja harian mereka, tapi mereka mulai menabung dan meriset perjalanan mereka berikutnya, sebuah siklus yang akan terus berlangsung selama enam tahun penuh keputusasaan sampai upaya mereka membuahkan keuntungan. Perangko yang tidak terkena cap dikelupas dari amplopnya dengan uap dan buku-buku yang dikirim dibungkus dengan kantong kertas daur ulang supermarket untuk menjaga biaya tetap rendah.

Pada 1981, buku panduan setebal 700 halaman, India, merupakan sebuah best seller menggebrak yang dibutuhkan perusahaan untuk mendorong pertumbuhan dan—yang paling dikenang oleh mereka—buku ini memungkinkan pasangan Wheeler untuk mendapatkan pinjaman untuk membeli sebuah station wagon Mazda berwarna cokelat, kenang Tony, seharga 3.850 dolar AS. Sampai di titik itu, setiap tagihan, setiap pembayaran merupakan sebuah perjuangan. Pasangan Wheeler bahkan mengalah dengan makan bareng bersama teman-teman mereka, menggunakan kartu kredit untuk membayar makanan dan mengumpulkan uang tunai dari teman-teman mereka untuk membantu mereka bertahan sampai akhir bulan. "Ini cara untuk mendapatkan kredit murah ketika bank tidak man meminjamkan uang kepada Anda," tutur Tony.

Keluarga Wheeler bisa saja hidup lebih nyaman apabila mereka bekerja seperti halnya profesi kerah putih lainnya. "Prosesnya panjang dan lama. Kami tidak menghasilkan uang dalam waktu yang lama," tutur Tony. Pasangan Wheeler membangun perusahaan dalam tiga periode yang berbeda, dimulai sebagai industri rumahan "amatiran" dari 1973 sampai 1980. Dari 1980 sampai 1994, pertumbuhan berlangsung lebih serius, "fase memesona" kata Tony di mana kantor-kantor Lonely Planet dibuka di Melbourne, San Francisco, London dan Paris, staf baru direkrut dan jumlah judul pun tumbuh dari 20 menjadi 100. Lalu tibalah masa 1994 sampai 2001: masa dilakukannya diversifikasi yang tidak selalu berhasil. Beberapa kesalahan klasik dilakukan dalam manajemen senior, dalam teknologi, dalam konsultansi manajemen dap dalam demam dotcoin. "Kami menjauh dari jati diri kami, kamu mulai mencari peluang bisnis lainnya."

Menariknya, walaupun Tony memiliki gelar MBA, justru Maureen yang banyak melakukan bisnis, di mana Tony menangani aspek kreatif dari bisnis ini, terus menulis dan melakukan riset.

"Penempatan markas di Australia merupakan hal yang sangat penting bagi sukses kami, karena Australia merupakan pasar yang sangat kecil Kami harus berpikir secara internasional," kata Tony. Pasangan Wheeler masih menguasai 70 persen saham perusahaan dan miliuner yang juga penguasa media Sydney John Singleton, memiliki sisa 30 persennya. Merek ini telah berkembang dari sekadar buku panduan menjadi kamus percakapan sehari-hari, program televisi, buku-buku tentang penulisan catatan perjalanan dan panduan perjalanan, di samping kehadiran yang cukup signifikan di internet. Buku-buku panduan kini juga meliput hotel-hotel dan restoran-restoran berkelas, dan saat ini, Lonely Planet menjual lebih banyak buku tentang Eropa daripada tentang Asia, yang menjadi tambang emas tradisional mereka.

Dimulainya milenium baru merupakan masa yang sulit bagi kelompok ini, yang sampai saat itu menikmati pertumbuhan tahun per tahun sebesar dua digit. Datang pula serangan teroris 11 September, bom Bali, dan wabah SARS. Lonely Planet harus memikirkan lagi pendekatan mereka, mengurangi 15 persen stafnya di seluruh dunia. "Ada banyak malam di mana kami tidak bisa tidur," kata Tony. Staf yang tersisa diminta untuk mengambil cuti panjang atau bekerja dengan hari kerja yang lebih sedikit agar perusahaan tetap berdiri.

"Sebuah bisnis bertanggung jawab untuk mencetak keuntungan. Sungguh mustahil menjalankan sebuah bisnis yang tidak menghasilkan untung. Kami menjadi lebih keras kepala bila berbicara tentang mendapatkan untung," kata Tony "Kami tidak memerhatikan ongkos dari beberapa buku yang kami terbitkan. Biaya biasanya melambung menembus atap.", Dia mengaku dirinya sangat hemat dan membenci pemborosan, serta dia melihat fakta kalau Lonely Planet telah menjadi bisnis yang serius dan tidak terhindarkan.

Selama lebih dari satu dekade, bertiup spekulasi terus-menerus mengenai apakah perusahaan akan menjual sebagian sahamnya ataukah keluarga Wheeler akan menjual bisnis mereka seluruhnya. Dalam iklim bisnis internasional saat ini yang penuh ketidakpastian, penjualan saham bukanlah opsi yang baik dan keluarga Wheeler telah merasa tidak nyaman harus mempertimbangkan lebih banyak pemegang saham (stake holder) dalam Lonely Planet. "Saya sudah merasa punya tanggung jawab yang begitu besar kepada para pembaca kami," kata Maureen. "Saya tidak ingin merasakan hal yang sama terhadap orang-orang yang benar-benar menanamkan uang dalam perusahaan kami."

Tony memiliki sebuah blog, divisi televisinya tengah berkembang dan Lonely Planet meluncurkan sebuah situs pemesanan akomodasi bernama Haystack. Pasangan Wheeler terns berkelana ke seantero dunia, tinggal di sebuah rumah yang didesain khusus di tepi Sungai Yarra, Melbourne, dan memiliki dua anak yang telah dewasa. "Perusahaan ini telah menjadi hidup saya sejak saya berusia 23 tahun," tutur Maureen. "Saya sulit membayangkan hidup saya tanpa Lonely Planet."

Sumber :

Buku dengan judul “100 Great Business ideas” karya Emily Ross & Angus Holland

Tidak ada komentar:

Posting Komentar